Interlude
Pernahkah kamu melihat badan seorang manusia yang separuh otaknya hilang sekaligus dengan tempurung kepalanya, kulit dan daging pada dada terobek seperti kantong makanan ringan menunjukkan isi rongga abdominal dalam keadaan kritis karena pendarahan hebat?
Aku pernah. Tapi hanya di TV. Pada nyatanya kejadian-kejadian fantastis itu hanya bisa terjadi di siaran drama rumah sakit. Kalaupun benar-benar terjadi perbedaannya mungkin bisa 10.000 : 1. Tidak besar? Ya, memang. Tapi itu kalau kau tidak menghitung bahwa kebanyakan kasus seperti itu dilarikan ke rumah sakit besar.
Tapi jika saat itu datang...jika dari kemungkinan sebesar itu pasien itu berada di depanmu, apa yang akan kamu lakukan?
Menandatangani surat kematiannya karena yakin dia tidak bisa ditolong?
Berusaha menolongnya bahkan jika hal itu mustahil?
Pilihan pertama akan memperoleh antagonisme dari keluarga korban. Pilihan kedua akan menjadi bahan cemoohan kolega karena membuang-buang obat. Maju mundur sama salahnya. Itulah sebabnya aku benci rumah sakit. Tidak, mungkin lebih bisa dikatakan begitulah keadaan dunia ini sebenarnya. Tidak semua hal bisa diukur dengan moral.
End Interlude
“Haaa!”
Aku terbangun dari tidurku dan merasakan pegal-pegal di punggung. Aku menempelkan punggung tanganku ke leher dan merasakan bahwa temperatur tubuhku sudah kembali normal.
“Ada apa ribut-ribut?”
Seorang pria tinggi berwajah tampan dan berpotongan rapi berjalan ke arahku sambil menyodorkan semangkuk air. Dari bajunya kelihatan bahwa ia bekerja di bisnis pelayanan. Aku yang dalam sehari sudah diculik, melihat orang tak bersalah digorok, dan dilempar dari pesawat berketinggian 30.000 kaki menatapnya dengan curiga.
Ia tersenyum dengan senyuman yang bisa membuat malaikat ingin berbuat dosa. “Minumlah. Jangan khawatir. Tidak ada apa-apanya kok.”
Aku menerima air itu dengan terima kasih dan meminumnya sambil memandang ke arah lelaki itu. Mengetahui hal itu, ia tersenyum ramah. “Namaku Bartender. Kamu siapa?”
“Bartender? Itu bukan nama orang, kan?”
“Benar. Aku tidak tahu namaku. Malahan, aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini. Yang aku tahu hanya apa yang diberitahu Luc.”
“Luc? Nama yang aneh,” jawabku sambil berdiri. Aku tidak suka duduk –duduk seperti orang lumpuh. Apalagi setelah setengah hari tidak mampu bergerak bebas, melonjorkan kaki benar-benar nikmat.
“Luc adalah orang yang menemukanmu kemarin,” katanya sambil mengambil mangkok yang aku letakkan di samping. Suara langkahku terdengar menggema di ruangan kosong yang terbuat dari beton itu. Akar rambat sudah menguasai separuh dinding dan membuat retakan-di mana-mana. Sepertinya tempat ini sudah lama berdiri.
Saat aku melangkahkan kaki keluar bunker itu, si Bartender memanggilku dari dalam.
“Jika kamu keluar, bisa panggilkan anak itu? Kalau sudah tertarik dengan sesuatu ia sering lupa sekelilingnya. Seharusnya sekarang dia sedang berada di sungai.”
“Baiklah,” kataku setuju. Orang ini terlihat baik. Lebih baik aku bersama dia. “Bagaimana rupanya?”
“Oh, kamu akan tahu jika kamu lihat dia,” katanya yakin.
Aku berjalan di antara pepohonan yang rindang. Hawa lembab dan sinar matahari yang disaring oleh kanopi daun di atas membuatku yakin bahwa ini memang hutan tropis. Tapi hutan di mana? Selang beberapa menit aku mendengar gemericik air. Aku mengikuti arah suara itu dan menemukan sebuah sungai kecil dengan air yang begitu jernih sampai aku bisa melihat dasarnya. Aku meraup air sejuk itu dan membasahi tenggorokanku yang kering. Baru kali itu aku merasakan air sesegar dan seenak itu.
Setelah puas minum, aku berjalan menyusuri sungai sampai melihat suatu gundukan berwarna hijau. Aku mendekatinya dan baru sadar bahwa gundukan itu adalah punggung seseorang yang sedang membungkuk mengamati sesuatu. Di sebelahnya ada sebuah jerigen kosong berisi air.
“Halo? Kamu Luc?”
Tidak ada jawaban.
“Hei! Kamu dengar aku tidak?”
Masih tidak ada jawaban. Aku mendelik lewat bahunya untuk melihat apa yang sedang ia amati. Seekor siput sedang bertelur di atas selembar daun. Jadi ini yang dia lihat? Seperti anak kecil saja. “Hei -!”
Belum selesai aku bicara, tangan mungil yang lembut menghentikan kalimatku. Ia membalikkan badan dengan satu jari di bibirnya yang tipis. Ternyata Luc adalah seorang gadis berambut pirang yang manis. Tetapi potongan rambut dan tubuhnya yang kecil membuatnya terlihat seperti laki-laki. Baju yang dia pakai mirip seperti kostum Sherlock Holmes.
“Namaku – “ sekali lagi ia menyuruhku diam. Matanya melirik ke samping.
“No, no. You, bloke, silence. Stop, ssh, silence. Absolute silence. Wait. Did you hear that? Don’t move. Stop thinking, mediocrity. Your thinking is disturbing my little grey cells. Yes. Now. You are not moving, right?” Tanyanya dengan logat British yang sangat kental. Benar kata Bartender. Anak ini benar-benar antik. Personalitinya bisa terlihat dari jarak seratus meter.
“Y-ya...?”
“You heard that?” Ia menjajarkan tangannya di belakang telinga.
Tidak terdengar suara apapun selain gemerisik dedaunan yang tertiup angin.
“I cannot hear anything.”
“Exactly. Nothing. There should be birds around. I heard them just minutes ago. Yes, wait. There is something scaring them.”
Kami memandang satu sama lain dengan tegang. Bulu kudukku berdiri dan udara berubah stagnan di sekitarku. Sesuatu sedang bergerak. Sesuatu yang berbahaya. Aku bisa merasakan keberadaannya.
Sebuah bayangan besar menutupi matahari dan tanah berdebum. Seekor binatang aneh seperti campuran dari buaya dan singa muncul di tengah-tengah kami sambil mengunyah sesuatu. Sesuatu jatuh dari mulutnya yang bergerigi panjang. Lengan manusia. Saat itu juga tubuhku langsung bereaksi tanpa melewati otak.
“Lari!”
“GRAOOORR!”
Dengan sekuat tenaga aku lari dari binatang itu. Di belakangku, si anak Inggris itu juga berpikiran sama denganku. Yang penting lari. Arah dan tujuan tidak penting. Kakiku melompat, kepalaku menunduk. Refleks yang tidak pernah aku tahu aku punya bereaksi dipacu oleh adrenalin dan keinginan untuk hidup.
Suara raungan si monster itu terdengar semakin dekat.
“A-apa-apaan itu!?” teriakku sambil melompati batu yang menghalangi jalanku. Di belakang aku melihat monster itu sudah hampir menyaplok Luc, tapi tubuhnya yang kecil cukup gesir dan ia menjjak batang pohon untuk berbelok tajam. Monster bermulut buaya itu tidak bisa berhenti karena berat tubuhnya dan menabrak langsung pohon itu. Pohon itu tumbang, tetapi makhluk itu tidak terlihat kaget, malah semakin buas. Tidak mungkin kita bisa mengalahkan sesuatu yang begitu tidak masuk akal.
Ketika aku akan membelok, sebuah akar menyangkut kakiku dan aku terjatuh ke dalam sebuah parit. Gadis Inggris itu juga bernasib sama denganku karena tidak memperhatikan jalan.
“Aaah!”
KLAP! KLAP! KLAP!
Mulut besar si monster buaya itu mengatup di belakang Luc. Aku menarik baju Luc sekuat tenaga sehingga luput dari gigitannya. Terlambat sedikit kakinya pasti putus. Lalu kami merangkak mundur secepat kami bisa. Untungnya tubuhnya terlalu besar sehingga tidak bisa masuk ke parit. Tapi ternyata bukan hanya dia masalahnya.
“Stop! Paritnya berakhir 2 meter lagi!” teriak Luc hampir putus asa. Dan benar saja. Parit itu berakhir pada sebuah lubang besar. Aku mendorong gadis itu ke belakang punggungku untuk melindunginya. Sifat ksatria? Tidak. Aku hanya tidak ingin melihat orang lain mati lagi di depanku.
“Hrrr...”
Ketakutan melanda hatiku. “Inilah saatnya...” Kataku dalam hati. Tetapi saat aku sudah pasrah menerima maut, binatang itu telah kehilangan kepala. Suatu mulut lebar baru saja menggigit kepalanya sampai putus. Darah berwarna merah menyemprot dari puntung lehernya. Seekor predator berahang besar dengan tubuh sangat tidak proporsional seperti T-Rex yang pernah kulihat di museum prasejarah menginjak tubuh tak berkepala itu dan mulai memakan dagingnya dengan suara kecapan yang keras.
Kami berdua hanya bisa diam di tempat persembunyian dengan tangan saling menutup mulut. Jantungku berdegup kencang melihat kejadian yang hanya pernah aku lihat di film-film luar negeri. Setelah selang berapa menit, aku mendengar dengusan keras dan binatang besar itu mengendus-ngendus ke arah kami. Kami menempelkan punggung pada dinding seperti ingin tenggelam ke dalamnya. Ia mendengus lagi dan pergi, suara langkahnya yang berat menjauh dari pohon tempat bersembunyi kami. Sepertinya ia tidak menganggap kami cukup mengenyangkan.
“Mmmhh...Mmmmhh!” Ras geli menggelitik tanganku. Luc menunjuk ke arah tanganku yang masih menutupi mulutnya dengan sorot mata marah.
Aku melepas tanganku dari mulutnya. Ia juga melakukan hal yang sama. Mata kami bertemu, tetapi tidak ada yang bisa mengatakan apapun. Rasa takut yang amat sangat tadi mulai mereda dan aku menghela napas panjang sambil tertawa gelisah.
“Oh, wow...tadi itu benar-benar mendebarkan.”
“Itu katamu,” katanya seraya menepuk pantatnya untuk membersihkan daun-daun yang menempel di celana pendeknya. “Sebaiknya kita kembali ke bunker sebelum kita bertemu dengan monster lain.”
“Kita sudah berlari cukup jauh. Aku tidak yakin aku ingat jalannya.”
“Tentu saja. Otak orang normal seperti kamu tidak akan ingat. Tetapi seorang jenius seperti aku tidak akan lupa. Lagipula jejak monster itu masih ada. Kita tinggal ikuti saja sampai ke sungai.” katanya dengan nada angkuh. “Ikuti aku.”
Dan benar saja. Tidak sampai seperempat jam kami sudah kembali di bunker itu. Dari dalam tercium bau sedap dari daging yang sedang dipanggang di atas api kecil. Bartender menyambut kami dengan melaambaikan tangannya.
“Kalian baik-baik saja?”
“Jika yang kamu maksud baik-baik saja adalah baru saja selamat dari kejaran monster sebesar gedung tingkat tiga...ya,” jawab si gadis Inggris itu ketus. Bartender menawarkan daging ular yang baru saja matang. Ia menolaknya sambil memalingkan muka. Luc mengeluarkan daging kering dari tasnya dan memakannya dengan diam.
“Kamu mau? Aku baru saja dapat ini. Masih segar.”
Aku menekan perutku yang terasa kosong karena belum makan dari kemarin dan mererima daging itu dengan senang hati. Dagingnya panas dan pahit dan sedikit terasa seperti besi. “Enak.”
Setelah selesai makan, kami bertiga duduk menghangatkan diri di depan api kecil.
“Nah, perut kita sudah kenyang. Sekarang mari kita berkenalan,” kata Bartender. Kelihatannya ia macam orang yang suka menjadi mediator. “Kita sudah berkenalan tadi. Namaku Bartender. No. 178,” katanya sambil menunjukkan belakang lehernya. “Aku sudah di sini selama dua hari. Selama dua hari itu aku sudah bertemu dengan beberapa orang, tetapi mereka semua sudah berpisah. Jadi aku tidak tahu bagaimana nasib mereka sekarang,” katanya dengan wajah sedih. Hmm, dua hari lebih lama dariku.
“Dan ini adalah...” Sebelum selesai dia berbicara, si gadis Inggris itu menyelanya. “Siapa namamu, mediocrity?”
“Ismail Prakoso,” jawabku singkat. “Dan jangan panggil aku dengan nama mediocrity.”
“Baiklah. Tidak ada orang yang bisa mengatakan bahwa Lucia Winterbrook tidak tahu rasa terima kasih,” katanya dengan nada cuek. “Nama panggilanku Luc. Jangan pakai nama Lucia. Aku tidak suka nama itu. Aku adalah seorang jenius yang lahir di London. Lulus dengan summa cum laude dari Harvard pada umur 19.”
Aku memandang Luc yang terlihat bangga. Sudah jelas ia tipe orang yang tidak peduli anggapan orang terhadapnya.
“Berapa nomermu?” tanya Bartender polos.
“A-aku tidak begitu ingat.”
Pria itu melirik ke arah leherku. Aku menutupinya dengan tangan.
“No. 636. Maaf kalau aku membuatmu merasa tidak enak. Hanya saja, aku merasa bahwa nomer itu nomer penting.”
Aku memandang mata Bartender. Ia memang tak bermaksud buruk. Dan untuk orang yang kehilangan ingatan, sebuah nomer yang membuatmu merasa seperti daging di supermarket mungkin terasa lebih penting, karena hanya itulah yang dia yakin miliknya yang asli. Bahkan nama aslinyapun dia tidak tahu.
“Ngomong-ngomong, apa kamu sudah memeriksa tasmu?” tanya si pria berambut coklat itu.
“Belum,” jawabku sambil membuka resleting tas yang aku dapat dari atas. Isinya adalah makanan ransum seperti daging kering dan biskuit tahan lama, sebotol termos dan sebuah peta berbahan plastik. Dan yang membuatku terkejut adalah adanya lima tablet obat. “Buset. Ada ibuprofen di tas ini. Tahu begini sudah dari kemarin kupakai.”
Luc menyeletuk. “Kamu dari Indonesia, ya? Dan kerjamu sebagai dokter?”
“Kok bisa tahu?”
“Gampang sekali. Dari namamu saja sudah tahu. Dan jarang orang awam menggunakan nama ibuprofen untuk obat penahan sakit.”
“Oh, kalau begitu kita beruntung. Aku akan bergantung padamu jika terluka!” kata Bartender sambil menepuk punggungku.
“Aku sudah putus kuliah kedokteran,” jawabku tak enak. “Kalau kamu merasa aman dengan seorang drop-out silakan saja.”
“Itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali. ”
Aku mendesah sambil membuka peta itu dari kemasannya. Ingin rasanya mencekik orang yang membuat peta ini. Warna dan modelnya seperti peta taman hiburan, dengan warna-warni tak berguna dan gambar Mister J yang menunjuk arah utara sebagai kompas. Hobi yang buruk.
“Ada yang tahu saat ini kita berada di mana?” Tanyaku. Aku tidak heran bahwa yang menjawab adalah si pirang itu. Ia menarik petaku dan meletakkannya di tanah.
“Saat ini kita berada di selatan Zona Hutan Tropis. Tujuan kita adalah bangunan yang ada di tengah ini. Saat ini kita sudah lumayan dekat. Satu hari perjalanan ke arah Timur Laut dan kita akan sampai. Akan lebih baik jika kita bisa memperoleh senjata. Perjalanan itu akan sangat berbahaya,dan kita tidak tahu apa yang akan terjadi.”
“Senjata ya?” kataku sambil mencubit daguku. “Oh, ya kalau tidak salah...” tanganku menepu-nepuk jaket sampai merasakan sesuatu yang keras di saku. “Apa ini bisa dipakai?”
“Oh, pisau lipat!? Tentu saja. Aku bisa berbuat banyak dengan barang ini. Dapat dari mana?” kata Bartender sambil menerima pisau itu. “Kamu yakin?”
“Ya. Aku tidak begitu nyaman memegang senjata. Lebih baik ini dipakai oleh seseorang yang bisa menggunakannya.”
Luc mengangkat bahunya sambil mencemooh. “Hah. Benar-benar orang yang naif. Apa kamu tidak berpikir bahwa dia bisa saja menggunakannya untuk membunuhmu? Jangan lupa bahwa siapa yang bebas bisa memperoleh hadiah uang yang cukup untuk hidup berfoya-foya sampai mati.”
“Aku tidak suka melukai orang. Itu saja. Selain itu, pisau inipun bukan milikku. Hanya kebetulan saja aku mempunyainya. Sebelum diculik aku mencungkil peluru dari kaki seseorang.”
“Heh?” Si Sherlock palsu mengangkat alisnya.
“Seorang satpam bandara yang terlalu banyak melihat TV mencoba membuka kunci pintu dengan 9 mm. Pelurunya memantul dan mengenai salah satu turis. Setelah itu aku terima panggilan lewat handphone dari nomer yang tidak diketahui.”
“Sama juga. Aku dipanggil saat sedang melakukan percobaan di laboratorium. Suara wanita dengan pitch yang ditinggikan dua oktaf.”
“Benar sekali,” Jawabku sambil mengingat kejadian tidak mengenakkan itu. “Tunggu sebentar. kamu sudah lebih lama di sini, apa yang kamu tahu mengenai makhluk-makhluk aneh di luar?”
“Ah, mereka ya? Aku sendiri hanya pernah bertemu mereka dua kali. Dan pada tiap kesempatan aku kabur sebelum mereka bisa menangkapku. Yang aku tahu hanya bahwa mereka adalah karnivora.”
“Begitukah...?”
“Ya...pokoknya kalau kita bertemu sesuatu, lari saja,” lanjutnya. Ia kemudian melihat ke luar bunker dan berkata. “Hari sudah malam. Sebaiknya kita tidur supaya bisa mencapai tujuan tanpa memotong banyak waktu.”
Luc mengambil jerigen air dan menyiramkannya ke api yang sudah kecil. Dalam sekejap sekeliling kami menjadi gelap. Untung saja saat itu bulan sedang setengah sehingga ada cukup penerangan. Walau kami sudah rebah untuk tidur, mataku masih terbuka karena tidak biasa dengan tidur pada jam segitu. Aku memandang keluar sambil mendengarkan suara hutan di malam hari. Suara jangkrik dan hembusan angin sepoi menggerakkan daun-daun, membuat gabungan simfoni suara alami yang menenangkan. Di antara suara alami itu, aku mendengar suara gemeretak gigi dan serak pasir.
Aku bangkit dan melihat si gadis Inggris tengah memeluk kakinya sambil menggigil kedinginan. Tidak heran, ia memang tidak memakai baju yang cocok untuk hidup di alam liar. Aku menghela napas panjang dan melepaskan jaketku dan kuselimutkan di tubuhnya. Suara gigi yang tadinya bergemeretak menghilang dan ia berangsur tenang.
Setelah itu kembalilah aku ke tempatku dengan hanya berbaju T-shirt tipis. Sekarang giliran aku yang menggigil kedinginan. Ah, suka duka seorang pria jantan.
Tetapi tak lama kemudian aku tertidur juga.
Esok harinya aku terbangun dengan jaket di atas kepala dan Luc yang tidak sudi melihatku. Anak aneh.
Setelah menentukan arah Selatan di mana dengan cara mengaproksimasi silang dari letak lumut di pohon dan arah matahari, apapun yang dimaksud oleh Bartender, kami bertiga berjalan menyusur hutan sambil ia menandai pepohonan dengan tanda panah tiap beberapa meter. Dia terlihat sudah biasa dengan cara bertahan hidup di hutan. Mungkin pria misterius itu dulu bekerja sebagai penjaga hutan atau bekas pramuka. Luc yang bangga dengan sistem profilingnya pun tidak bisa mengetahui asalnya.
Sepanjang jalan kami bertiga berjalan dengan urutan Bartender, Luc, lalu aku. Gadis Inggris itu pintar sekali dalam hal mengendap-ngendap. Lebih dari satu kali kami bertemu dengan monster-monster yang ada di hutan itu dan kalau tidak berkat dia, bisa saja ketiga pengelana malang ini jadi santapan siang mereka. Mereka berdua terlihat sangat ahli, membuatku yang orang awam ini merasa tidak berguna.
Saat itu kami bertiga sedang bersembunyi di belakang sebuah pohon raksasa dengan dua ekor makhluk raksasa yang satu jenis dengan yang memangsa monster di parit berjalan-jalan di depannya. Suara kaki mereka saat berjalan seperti pasak bumi yang menggoncangkan tanah dan membuat hati yang melihatnya keder.
Setelah dilihat secara seksama, monster itu memang mengerikan. Tubuh besar dengan kulit tebal berkerut seperti gajah, sepasang kaki kuat yang mampu menumpu berat yang mungkin melebihi 2 ton, dan mulut berahang kuat. Di punggungnya terdapat bintil-bintil berwarna kuning seperti nanah. Ekornya yang pendek membuat mereka terlihat bungkuk karena proporsi badan yang canggung. Kami memutuskan untuk menyebutnya Kaki Besar. Dan monster-monster kecil yang kami lihat pertama kali kami panggil Mulut Buaya.
“Ooh, dua ekor. Ini bakal sulit,” kata Bartender sambil mengetuk dahinya dengan jari tengah.
“Dan kali ini tidak ada Mulut Buaya untuk mereka makan,” komentar Luc.
Aku menyembulkan kepalaku untuk melihat apa yang sedang mereka lakukan. Satu dari mereka tengah mengumpulkan batang-batang pohon kecil dan menumpuknya menjadi satu. Yang lainnya diam saja, seperti menunggu sesuatu.
“Aduh, gawat,” bisikku sambil menepuk punggung Bartender. “Mereka sedang membuat sarang. Kita tidak bisa tinggal lama-lama di sini.”
“Kalau begitu mereka tidak akan pindah jauh-jauh,” komentar Luc sambil mengeluarkan petanya pelan-pelan. “Lebih baik kita mengambil jalan memutar. Bagaimana menurutmu?”
Si pria misterius itu menggelengkan kepalanya. “Hari sudah mendekati sore. Lebih baik kita langsung saja tembus. Asal kita tidak buat suara yang terlalu keras, kita tidak akan kedengaran. Selain itu, lihat. Kalau memutar kita akan berada di sebuah tanah lapang. Dan di tempat seperti itu kita lebih gampang diburu binatang lain.”
“Bagaimana pendapatmu, Ismail?”
“Tidak. Hanya kaget saja. Menurutku lebih baik kita memutar. Lagipula beda sehari tidak terlalu masalah dibandingkan mati percuma.”
Begitu kami memutuskan untuk memutar, kami melangkah hati-hati supaya tidak menginjak cabang jatuh atau dedaunan kering dipimpin oleh Luc. 2 menit kemudian aku sudah tidak bisa melihat kedua Kaki Besar itu dan menghembuskan napas lega.
“Hah. Manusia akan selalu lebih pintar dari – “
“Hati-hati!” teriak Bartender. Tapi sudah terlambat. Luc terpeleset sesuatu dan jatuh pada pantatnya.
“Aduh, apa itu barusan?” omelnya sambil mengusap punggung. Ketika melihat apa yang menyebabkan ia jatuh, warna mukanya berubah dan ia lari dan memuntahkan isi perutnya. Akupun kaget dan menutup hidungku. Bagaimana mungkin aku tidak mencium bau busuk ini sebelumnya? Sesuatu seperti ini. Sesuatu seperti ini tidak mungkin bisa ada di bumi!
Apa yang ada di tanah adalah sebuah gundukan kotoran besar berwarna kecoklatan hitam yang sudah mengering. Di antaranya ada sobekan baju, kacamata, dan bagian-bagian tubuh manusia yang belum tercerna. Perutku bergejolak dan aku muntah. Tempat macam apa ini!? Neraka!? Aku sudah banyak melihat mayat tetapi yang seperti ini...yang seperti ini benar-benar tidak manusiawi.
Bartender menepuk punggungku saat aku selsai dan mengusap mulutku dengan belakang tangan. “Gila. Gila! Hutan ini benar-benar gila!”
“Aku ingin pulang!” Teriak gadis itu.
Aku mendapatkan tangannya dan berusaha menenangkannya, tetapi kemudian aku mendengar suara tanah bergerak.
“Hnggrr...”
Salah satu dari si Kaki Besar telah menemukan kami.
“Oh, sial.”
Aku menarik tangan Luc dan segera melarikan diri. “Dengan badan sebesar itu tidak mungkin ia bisa memanuver lebih baik daripada kita. Terus lari ke arah Timur Laut!”
Memang benar, monster itu dengan susah payah mengejar aku dan Luc. Bartender dengan kakinya yang panjang lari lebih cepat daripada kami, membuka jalan dengan tongkat kayu yang dia dapat sebelumnya.
Baru saja aku merasa sedikit lega, pepohonan yang ada di sampingku tumbang seperti diabrak buldoser. Angin kencang menerpa dan melemparkan badanku ke belakang. Aku terguling beberapa kali saat melindungi tubuh Luc. Rasa nyeri menyerang punggungku, tapi itu bukan masalah dibandingkan rasa ngeriku melihat tubuh Kaki Besar yang menjulang tinggi berdiri di tengah pohon-pohon yang hancur.
“T-tidak mungkin! Bagaimana ia bisa bergerak cepat dengan badan sebesar itu!?” Seru Luc.
Si Kaki Besar mendengus. Ia menundukkan kepalanya dan mnurunukan posisi kaki kanan di depan dan kaki kiri di belakang seperti seorang pelari mengambil posisi start merunduk. Dalam waktu sekian detik kepala yang besar itu mendongak dan kaki depannya menjejak tanah sampai dalam. Ia melesat maju seperti gunung berjalan. Besar dan tak terhentikan. Kecepatan larinya bukan main.
“GRAAAWWW!”
Kami berguling ke samping untuk menghindarinya. Monster itu tidak bisa berhenti dan terus merangsek tanpa peduli apa yang ada di depannya.
“Luar biasa! Ia menggunakan kakinya yang berotot untuk memulai sprint dan menggunakan momentum dari kepalanya untuk berlari dengan ledakan energi yang kuat!” kata Luc dengan wajah berseri. Aku heran bagaimana sikap dia bisa berubah begitu cepat.
“Kamu boleh saja senang! Tapi dengan kecepatan seperti itu cepat atau lambat dia akan menangkap kita! Itu kalau kita belum dilumat oleh kakinya!” teriakku dengan marah sambil melanjutkan lariku. Sungguh mengerikan. Kapan aku bisa kembali ke dunia yang normal!?
Tanah kembali bergoncang dan monster itu kembali. Kali ini ia tidak menggunakan kecepatan kakinya. Mulut besar berisi taring-taring sebesar kepala manusia menyabik pohon berumur ratusan tahun dengan sekali gigit. Bayangkan jika itu tulang manusia. Kita tidak lebih dari tusuk gigi di depannya.
KRAK! KRAK! KRAK!
Pohon-pohon malang di belakangku hancur berantakan. Luc berteriak supaya kami menyebar. Malangnya diriku, aku yang berukuran lebih besar dan berbaju mencolok jadi sasarannya. Nafasku tersengal dan kakiku terasa panas sekali.
“Ismail! Luc! Sini!” teriak Bartender. Tangannya menyembul dari dalam sebuah gua kecil di tebing. Ia menarik Luc yang hampir saja dilumat si Kaki Besar yang tidak bisa mengontrol kecepatannya. Sekarang tinggal aku sendiri! Bagaimana ini!? Aku tidak mau mati seperti ini!
Aku menoleh ke belakang dan melihat rahang monster itu membuka lebar. Siap membuatku makanan selingan.
“SIAAAL!!”
WWWWWWWWWWWWWTTTTTTTTTTTTFFFFFFFFFF
ReplyDeleteAt first it was like Deadman Wonderland and then suddenly Jurrasic Park with Price @A@
hahaha, variasi!
ReplyDelete