The World Through The Bottom of My Glass

Tuesday 30 August 2011

Part 1 Chapter 1: The Island of No Return


“U...uu...”
Rasa kebas yang tidak mengenakkan memenuhi tubuhku. Otakku berusaha menyuruh jariku-jariku untuk menutup, tapi yang bisa aku lakukan hanya gerakan kecil.
 “Uuh...S..ss.”
Saat itu aku membuka mata dan terlihat olehku sekumpulan kaki-kaki dengan segala jenis sepatu di depan. Dari bahasa yang mereka pakai saat berbicara, jelas bahwa mereka berasal dari negara-negara yang berbeda. Setelah beberapa saat mataku mampu melihat lebih jelas dan dapat melihat bahwa saat itu aku berada di sebuah ruangan gelap yang berdinding besi. Suara angin di luar menandakan bahwa aku sedang berada di pesawat besar, semacam pesawat kargo.
“Halo, nak. Kamu orang Indonesia juga?”
Seorang bapak-bapak berpakaian mentereng membantuku berdiri. Wajahnya terlihat capek dan takut.
“Namaku Jonny Saputra. Kamu?”
“I...Iis...” aku berhenti, menjejakkan kakiku beberapa kali untuk mendapatkan kembali kontrol tubuhku. “Ismail Prakoso. Kita ada di mana?”
“Yang aku tahu kita berada di pesawat. Kamu adalah orang terakhir yang bangun. Berhari-hatilah. Orang-orang berbaju militer itu membawa senjata.”
Belum selesai dia bicara, salah seorang dari penjaga memakai topeng kain menghampiri aku dan mengangkat sebuah alat seperti barcode scanner yang ada di toko supermarket dan mengarahkannnya ke leherku. “Ismail Prakoso. No. 636. Semua kandidat sudah bangun. Kita mulai pertunjukannya!”
Sebuah layar besar yang berada di depan menyala. Mataku yang dari tadi sudah beradaptasi dengan gelap memicing karena cahaya yang datang tiba-tiba. Jingle seperti iklan perusahaan terdengar memenuhi ruangan dan seorang laki-laki berpakaian tuksedo dan topi tinggi muncul di layar. Wajahnya tertutup topeng masquerade seperti yang dipakai saat karnival di Venizia.
Ladies and Gentlemen. Terima kasih atas partisipasi anda pada event kami hari ini. Mulai saat ini aku akan berbicara dalam bahasa Inggris supaya kalian semua bisa mengerti. Namaku adalah Mister J.”
Ia berdehem sekali dan merentangkan kedua tangannya. “Anda semua adalah orang-orang terpilih yang akan bermain game survival ini. Terpilih dari berjuta-juta orang di dunia dan diambil dari negara yang berbeda. Beberapa pesawat seperti ini telah datang dari seantero jagat dan masing-masing membawa kandidat berkemampuan khusus yang berasal dari segala penjuru dunia. Dan semuanya sedang menuju ke sebuah pulau di Samudera Pasifik.”
“Mudahnya seperti ini. Kalian semua akan berusaha memenangkan game ini dengan melawan orang-orang di sekitar kalian. Dan yang menang akan kembali ke rumah dengan menenteng uang sebesar 1 Milyar Dolar! Wao! Besar sekali!” ia berseru sambil melemparkan segepok uang ke udara. Suara tepuk tangan dan siulan orang terdengar di belakang layar.
“Yang benar saja! Permainan macam apa ini!? Aku tidak terima!” Bapak-bapak yang tadi membantuku berteriak dengan marah. Beberapa orang lainnya juga menunjukkan ketidaksenangannya.
“Aku akan -!” Tiba-tiba Jonny terjatuh ke lantai sambil mengeluarkan suara seperti berkumur. Urat nadi di lehernya terpotong oleh pisau. Sembilan orang yang tadi ikut marah juga mengalami nasib yang sama. Bau anyir darah memenuhi ruangan. Takut bercampur kaget membuat dadaku sakit dan kepalaku pusing. Si pembawa acara hanya meneruskan perkataannya.
Shut up! Sekalipun kalian manusia terpilih aku tidak peduli bahkan jika sepuluh orang mati percuma. Itu hanya berarti bahwa kalian tidak pantas menjadi keberadaan yang elit! Nah, setelah gangguan tidak mengenakkan ini mari kita lanjutkan penerangan mengenai game ini, kecuali ada yang mau protes lagi?”
Dengan segera, seluruh isi pesawat berhenti berbicara. Gila. Orang ini benar-benar gila. Lagaknya seperti seorang pemimpin sirkus, dan kita adalah binatang-binatang di bawah kontrol cemetinya.
Ia menjetikkan jari dan sebuah peta pulau terlihat di depan layar di sebelah kiri.
“Pulau ini terbagi menjadi lima zona. Empat zona yang mengelilingi pulau di tengah. Dan masing-masing mempunyai iklim buatan sendiri. Padang gurun, hutan tropis, tundra, dan savana. Kalian punya waktu satu bulan untuk mencapai zona kelima. Yaitu pulau yang terletak di tengah danau di pertengahan keempat zona tersebut. Tetapi jalan ke sana hanya dapat ditemukan dengan menggunakan badge khusus yang hanya bisa kalian peroleh dari pemimpin zona. Dan kalian harus mengumpulkan empat. Bagaimana kalian memperolehnya aku tidak peduli. Yang penting hasil. Proses tidak penting!”
Mister J menunjuk ke layar sebelah kanan. “Tapi kalau hanya seperti ini permainan tidak akan menyenangkan. Oleh karena itu, aku perkenalkan makhluk hasil rekayasa genetik yang akan menjadi lawan kalian.”
Sebuah rekaman video ditampilkan. Tiga pria tengah lari sekuat tenaga dari sesuatu yang besar. Suara mereka minta tolong terdengar tidak begitu jelas karena kualitas rekaman yang jelek. Tiba-tiba suatu makhluk yang seperti monster dari film Hollywood keluar dari semak-semak dan menyerang mereka. Suara teriakan penuh takut mengisi ruangan itu.
“Terkejut? Bukan sulap dan bukan sihir. Juga bukan efek spesial yang mahal. Makhluk itu asli. Dan mereka tersebar di seluruh pulau. Tunjukkanlah padaku bahwa kalian bisa selamat sampai ke tujuan. Hidup atau mati! Hanya itu pilihan kalian! Over and out!” Mister J menunduk sambil tersenyum. Beberapa detik kemudian, layar itu mati. Para penumpang yang dari tadi diam karena syok langsung ramai dengan ketidakpercayaan. Tiga wanita Jepang di sebelahku menangis meraung-raung, sementara di depanku, seorang laki-laki berbahasa Inggris dengan aksen Singapore tengah menggoncangkan temannya yang berteriak histeris.
Tidak heran. Aku sendiri tidak akan percaya jika tidak melihatnya sendiri. Yang tadi itu bukanlah hasil manipulasi maupun trik. Orang-orang ini serius.
Ketika itu, angin besar masuk ke ruang kargo pesawat dan pintu besar yang berada di ekor terbuka. Seorang dari kumpulan orang bertopeng hitam itu maju ke depan dengan membawa sebuah daftar. “Baiklah, kalian semua kandidat akan dipanggil berdasarkan nama dan nomer secara acak. Masing-masing akan mendapatkan tas kecil berisi ransum makanan dan parasut. Setelah itu kalian akan terjun ke pulau. Dan aku ingatkan, jika kalian tidak terjun, kami akan dorong kalian!”
“No. 292. Chen Hu ming! Maju!”
Seorang pria berkacamata berbaju santai maju dan menerima tas dan parasut. Ia berhenti di ambang pintu. Kakinya terlihat gemetar dengan keras. Salah seorang dari tentara tersebut menendangnya jatuh.
“AAAAH!!”
“Selanjutnya!”
Selang beberapa menit isi pesawat sudah berkurang separuhnya. Kemudian aku mendengar namaku dipanggil.
“No. 636. Ismail Prakoso! Giliranmu!”
Aku maju ke depan dan merasakan beratnya tas kecil yang berisi penyangga hidupku dan sebuah parasut yang dipasangkan di punggung. Rasanya masih seperti mimpi. Siang tadi aku masih bersama keluargaku baru pulang dari Amerika. Sekarang aku berada di ruang kargo suatu pesawat dan akan terjun ke suatu pulau terpencil untuk bertarung hidup dan mati.
“...kamu dengar aku? Tarik tali ini begitu kamu sudah setengah perjalanan.”
“Tidak ada gunanya. Mata anak ini masih tidak fokus. Mungkin gara-gara obat yang tadi kita pakai. Lempar saja dia turun.”
Aku merasakan gravitasi merenggut badanku dari atas. Angin kencang bertiup membuat nafasku sesak. Tanganku bergetar, berusaha menarik tali. Sial. Sial! Kenapa tanganku tidak mau bergerak!?
Tanah melesat cepat mendekati tubuhku. Gambar-gambar tidak mengenakkan dari korban tabrakan di kamar mayat memenuhi otakku. Tidak! Aku tidak mau mati di sini! Aku menggertakkan gigi dan akhirnya berhasil menarik tali. Kecepatan jatuhku langsung melambat dan tubuhku telungkup mencium tanah.
“A...ah...” Dengan susah payah aku melepaskan parasut di punggungku dan merangkak ke arah sebuah pohon. Bukan main-main lagi, badanku terasa lemas dan tubuhku panas dingin. Demam, pikirku sambil mengumpat. Demam di hutan tropis. Sial. Sial!
Tak sampai aku selesai mengutuk nasib, kepalaku berputar melihat gelapnya hutan di malam hari. Bayangan-bayangan yang tidak jelas bagai monster yang mengincar tubuhku.  Salah satu di antaranya bergerak ke arahku. Tapi mataku yang sudah buram hanya bisa melihat siluet. Dan empat pasang mata yang bersinar memantulkan cahaya bulan.
Terakhir yang aku rasakan adalah punggungku yang diseret oleh sesuatu.

No comments:

Post a Comment