Saat itu aku melihat segerombolan Mulut Besar yang sedang tidur. Tapi beda dengan yang lalu, kepala mereka berbulu merah. Mata reptil mereka membuka ke samping dan kepala mereka menghadap ke arahku.
Di belakang neraka. Di depan neraka. Apa ini akhirku?
“AAHH!” Aku berteriakd dan merentangkan tanganku dan mencengkeram batang pohon untuk menggunakan momentum lari sehingga aku mampu membelok tajam.
Si Kaki Besar yang merangsek maju tak bisa berhenti. Kepalanya berputar ingin menangkapku, tetapi tubuhnya yang berat tidak bisa memenuhi keinginannya dan ia selip dan jatu di atas kumpulan Mulut Besar. Beberapa ekor mati tergencet, sementara sisanya terancam dan mulai menyerang pembunuh teman mereka dengan berang.
Aku tidak membuang kesempatan itu dan kembali ke kedua temanku di gua.
Sesampainya di sana, kakiku terasa seperti mau putus dan aku jatuh terjerembab ke atas tanah. Panas, sesak, dan capek membuat kepalaku pusing. Iklim hutan tropis yang lembab pun membuat keringat di badan serasa lengket. Aku mengusap wajahku yang kotor oleh tanah basah dan melepehkan yang masuk ke mulutku.
“Aku sudah kuatir kamu jadi makanan dia,” kata Bartender dengan Luc bersandar pada dinding gua sambil tersengal-sengal. Peluh membasahi rambutnya yang pirang sehingga menempel pada kepalanya. Ia melepas topinya dan menggunakannya untuk berkipas. Ia memang kelihatan kurang fit.
“Ya Tuhan. Orang macam apa yang bisa membuat monster seperti itu?” tanyaku sembari membuka resleting jaket. “Aku tidak yakin kita bisa selamat kalau seperti ini terus.”
Kami memutuskan untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga. Luc mengeluarkan peta dan berusaha menemukan arah mereka sambil mengunyah.
Bartender memanjat pohon yang paling dekat dengan kami, sebatang pohon jati yang kelihatan sudah berumur. Ternyata ia juga cukup ahli dalam memanjat. Baru setengah menit berlalu dan ia sudah berada di pucuk pohon.
“Luc! Ismail! Kita tidak perlu lihat peta lagi! Aku melihat sebuah bangunan beberapa meter dari sini!”
Setelah ia turun, kami bertiga berjalan menuju bangunan itu. Bangunan tersebut lebih menyerupai sebuah benteng dengan pagar besi beraliran tegangan tinggi. Tiga mobil jip dengan beberapa orang berpakaian tentara tengah berjaga-jaga di depannya.
“Wuuah, ngomong-ngomong masalah tidak ramah,” kataku lirih.
Bartender menepuk pundakku. “Lihat di atas itu. Kamu kelihatan? Ada senapan mesin tersembunyi di atas kubah.”
“Nnh...perasaanku sangat tidak enak.”
“Apa kita maju?” Bartender bertanya sambil memukulkan tongkatnya ke tangan.
Luc menggigit bibirnya. “Tidak. Tidak. Tunggu. Kalian dengar!?”
Aku menajamkan telinga dan mendengar sebuah suara. Tidak. Tiga suara teriakan manusia.
Tidak jauh dari tempat kami bersembunyi, tiga orang lari keluar hutan. Dua wanita dan satu laki-laki. Lima ekor Mulut Besar tengah mengejar mereka. Satu wanita yang paling lambat terjerembab dan bertemu dengan akhir hayat di perut dua ekor. Sisanya mengejar yang lain.
“Tolong! Tolong!” Teriak mereka bersamaan. Kelihatan wajah mereka lega melihat ada orang-orang bersenjata. Tetapi air muka mereka berubah seketika saat timah panas memberondong Mulut Besar di belakang lewat tubuh mereka. Senapan mesin dia atas kubah mencabik-cabik sisa dua di belakang tanpa membedakan manusia dan monster.
Bartender memalingkan muka dengan ekspresi pahit.
“Biadab! Apa mereka pikir nyawa manusia itu mainan?” Aku menggeretakkan gigiku dengan marah. “Sebenarnya apa maksud permainan ini? Jika memang mereka ingin ada pemenang seharusnya mereka tidak melakukan hal seperti itu!”
Luc mendiamkanku dengan menaruh jarinya di bibir. “Tunggu. Jangan gegabah. Lihat. Si laki-laki itu masih bergerak.”
Benar, si pria yang tadi diberondong itu ternyata masih hidup. Salah satu tentara yang menembaki dia tadi berbicara pada sebuah walkie talkie. Tak lama kemudian, dua orang membawa tandu menaikkannya ke atas tandu dan membawanya ke dalam bangunan tersebut.
“T-tunggu. Apa maksudnya? Pertama mereka menembakinya sampai setengah mati, sekarang mau menyelamatkannya?”
“Aku ragu. Lihat, mereka membuang kedua mayat tadi ke dalam hutan.”
“Semakin aku melihat semakin bingung saja,” kata Bartender sembari menggaruk kepalanya. “Aku bilang kita mundur saja dulu. Aku masih tidak yakin dengan mereka. Mumpung masih terang kita bisa cari makan. Bagaimana menurutmu?”
“Aku sih setuju saja. Toh kita tidak punya alasan untuk tinggal.”
Dengan wajah serius, Luc bangkit berdiri dan menepuk-nepuk bajunya. “Kalau begitu ayo bergegas. Aku tidak suka lama-lama di sini.”
Selama tiga hari aku, Luc, dan Bartender bergantian memata-matai benteng itu. Mengingat jam pergantian penjaga, jadwal patroli, dan kendaraan yang mereka pakai. Untungnya penjagaan di tempat itu sangat kurang karena hanya perlu berjaga-jaga dengan makhluk-makhluk aneh itu. Selain itu tiap malam mereka menyebarkan sejenis serbuk di sekeliling kamp yang sepertinya berguna untuk mengusir mereka.
Pada malam ketiga kami memutuskan untuk menculik seorang tentara yang masih muda yang sering disiksa oleh para seniornya. Ia paling sering disuruh patroli sendirian sementara yang lain main kartu.
Dan pada hari keempat, aku memanjat pohon yang cukup dekat dengan pos penjaga, tetapi tidak cukup dekat sampai bisa dilihat. Setengah jam berlalu tanpa ada perubahan. Kemudian seperti biasa, pemuda itu berjalan menuju jip dan mulai memutar. Tetapi salah seorang seniornya tiba-tiba naik.
“Sial...” kutukku lirih.
Saat suara jip itu berada di bawahku aku memberi sinyal pada Luc yang sedang bersembunyi di semak-semak. Setelah memastikan semua aman, aku turun dan bergegas menuju tempat pertemuan kami.
“Bagaimana?” Tanyaku sambil merunduk.
“Bartender sudah menerima tanda. Tinggal tunggu sinyal dari dia saja.”
Tak berapa lam kemudian, aku melihat warna kuning terang dari sapu tangan Bartender.
Pria itu tengah menyelesaikan ikatan dari tali yang ia buat dari rotan pada kedua tentara itu. “Daaan...selesai...”
“Kamu tidak membunuh mereka kan?” tanyaku pada pria itu. Walau terlihat tenang tapi kamu tidak tahu apa yang akan dia lakukan.
“Tidak. mereka hanya pingsan.”
Luc menampar si pemuda sampai bangun.
“S-siapa kamu!?”
“Diam dan ikuti perintahku. Atau si pria berambut coklat dengan pisau itu akan menggorok lehermu. Dan kita tidak mau itu bukan?”
“T-tidak...”
Walkie talkie miliknya tiba-tiba menyala. “Masuk, Frankie. Bagaimana keadaanmu? Ganti.”
Aku mengambil benda berwarna hitam itu dan menoleh ke arah Luc. Ia menandakan padaku untuk memegangkannya di depan telinga si pemuda bernama Frankie itu.
“Frankie? Dasar anak ingusan. Di mana kamu? Ganti.”
Luc menganggukkan kepalanya ke arah Bartender yang sedang menguliti seekor tupai dan tersenyum mengancam.
“F-frankie di sini...ganti,” katanya dengan suara terputus-putus. Wajahanya terlihat seperti mau menangis.
“Kalau kamu ada, jawab dong. Ada masalah? Ganti.”
“T-tidak. Ganti.”
“Kenapa suaramu aneh? Panggilkan Chung. Biar aku bicara sama dia saja. Ganti.”
“S-sayangnya dia sedang... buang air besar di s-sungai...ganti.”
Suara di walkie talkie itu terdengar jijik. “Lagi? Orang itu berak terus seperti keran. Cepatlah kembali. Kita disuruh memburu spesimen baru. Dan kita perlu semua orang untuk memburu yang ini. Over and out!”
“This is what I like about damn hirearchial bullying. It’s so easy to find out the weak link.”
Oh no poor bullied kid :v
ReplyDelete