Interlude
Pernahkah kamu melihat badan seorang manusia yang separuh otaknya hilang sekaligus dengan tempurung kepalanya, kulit dan daging pada dada terobek seperti kantong makanan ringan menunjukkan isi rongga abdominal dalam keadaan kritis karena pendarahan hebat?
Aku pernah. Tapi hanya di TV. Pada nyatanya kejadian-kejadian fantastis itu hanya bisa terjadi di siaran drama rumah sakit. Kalaupun benar-benar terjadi perbedaannya mungkin bisa 10.000 : 1. Tidak besar? Ya, memang. Tapi itu kalau kau tidak menghitung bahwa kebanyakan kasus seperti itu dilarikan ke rumah sakit besar.
Tapi jika saat itu datang...jika dari kemungkinan sebesar itu pasien itu berada di depanmu, apa yang akan kamu lakukan?
Menandatangani surat kematiannya karena yakin dia tidak bisa ditolong?
Berusaha menolongnya bahkan jika hal itu mustahil?
Pilihan pertama akan memperoleh antagonisme dari keluarga korban. Pilihan kedua akan menjadi bahan cemoohan kolega karena membuang-buang obat. Maju mundur sama salahnya. Itulah sebabnya aku benci rumah sakit. Tidak, mungkin lebih bisa dikatakan begitulah keadaan dunia ini sebenarnya. Tidak semua hal bisa diukur dengan moral.
End Interlude
“Haaa!”
Aku terbangun dari tidurku dan merasakan pegal-pegal di punggung. Aku menempelkan punggung tanganku ke leher dan merasakan bahwa temperatur tubuhku sudah kembali normal.
“Ada apa ribut-ribut?”
Seorang pria tinggi berwajah tampan dan berpotongan rapi berjalan ke arahku sambil menyodorkan semangkuk air. Dari bajunya kelihatan bahwa ia bekerja di bisnis pelayanan. Aku yang dalam sehari sudah diculik, melihat orang tak bersalah digorok, dan dilempar dari pesawat berketinggian 30.000 kaki menatapnya dengan curiga.