The World Through The Bottom of My Glass

Tuesday 30 August 2011

Island of the Fallen: Prologue


Aku tidak menyukai pesawat lokal. Goncangan yang tidak mengenakkan dan makanan pesawat yang tidak lebih dari roti dan teh lebih sering membuat aku mual daripada bau pesawat itu sendiri. Sebuah campuran dari bau keringat dan avtur.
Jadi tidak heran bahwa begitu aku turun dari pesawat, aku langsung bernapas lega. Ya, aku, Ismail Prakoso lebih suka pesawat internasional daripada domestik. Dan kenapa aku naik pesawat, tanyamu? Ini karena aku dan keluargaku baru saja dari Amerika. Los Angeles, lebih tepatnya. 2 minggu penuh dengan sengsara dan suka. Bertemu dengan keluarga di luar negeri dan menghabiskan waktu dengan para sepupu yang 75 persen tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bukannya aku komplen atau bagaimana, karena aku sendiri menemukan lebih gampang berbicara dalam bahasa Inggris daripada Indonesia. Sesuatu yang diangap nenekku yang kolot memalukan.
“Kak! Ke sini dong, jagain tasku! Cepet! Aku sudah gak tahan lagi!” Teriak  adikku yang masih 14 tahun, beda 7 tahun dariku. Seorang gadis manis yang menjadi bintang sekolah sejak masuk. Bajunya yang lebih mengarah ke warna sedikit buram membuatnya terlihat lebih dewasa dari umurnya. Tetapi tidak halnya dengan kebiasaan ke toilet begitu turun pesawat.
Kedua orangtuaku, sepasang suami istri harmonis yang telah langgeng 36 tahun pernikahan sedang sibuk mengurusi nenekku yang malas jalan. Merekalah yang memaksaku, seorang drop-out dari universitas kedokteran untuk ikut liburan. Aku mengerti bahwa mereka bermaksud baik, tetapi fakta bahwa aku sudah berhenti masuk universitas berkata lain.
Aku harus cari kerja. Seorang pria lulusan SMA yang hanya tahu cara membedah seseorang susah kalau ingin bekerja di bidang lain. Membayangkan diriku harus ikut kenalan papaku bekerja di Gorontalo juga sudah membuatku bergidik.
Masalahnya, apa yang ingin aku lakukan setelah ini juga aku belum tahu. Mungkin ada baiknya jika sesuatu yang mengejutkan, seperti bandara Soekarno-Hatta ini ditabrak meteor atau bumi kiamat.
“Haha, itu hanya mimpi.”
Aku menurunkan kerudung jaketku dan memasangkan earphone ke telingaku. Suara musik piano Rachmaninov selalu membuatku tenang. Kuno, tetapi musik begini lebih bagus daripada band gak jelas.
“Is! Ayo jalan lagi! Apa mau makan dulu? Sudah jam satu nih,” kata mamaku sambil mengecek agenda dari smartphonenya, sebuah high tech gadget yang sudah jadi pegangan keluarga kami sehari-hari.
“Iya deh. Iya. Imouto-san mau makan apa?” tanyaku kepada adikku.
“Buu, namaku Lisa, bukan imouto-san!” jawabnya. Tentu saja dia tahu apa artinya, sebab aku sering memanggilnya dalam bahasa Jepang jika aku sedang bercanda. “Makan soto yuk!”
“Gila kamu! Harga soto di sini sama dengan makan di KFC paket hemat!” kata papaku yang ekonomis. Kumisnya juga ekonomis, tidak melebar seperti gusti prabu jaman dulu, tetapi menempel seperti pendekar empat alis. Badannya yang kekar juga menandakan bahwa ia adalah orang yang sering bekerja di luar. “Memang kapan sih penerbangan kita ke Singapore?”
“Masih 2 jam lagi. Tenang saja,” jawab mamaku yang masih berkutat dengan blackberrynya. Benar-benar hebat mamaku, satu-satunya wanita yang bisa multitasking dengan 2 handphone di tangannya.
Nenekku yang dari tadi diam saja kemudian menyeletuk. “Kalau mau makan, makan saja! Kok susah amat sih! Kita juga bisa makan di luar bandara kan?”
“Aduh, nenek. Habis ini mama dan papa kan bakal di Singapore seminggu. Makan bersama sebelum itu kan bagus?” kata adikku sambil berkacak pinggang. “Lagipula, nenek sudah minum obat itu belum? Apa ya itu namanya...?”
“Geneprofen. Obat untuk memperkuat kerja otak,” kataku pelan. Ya. Geneprofen. Obat yang akhir-akhir ini laris seperti kacang goreng. Penemuan laboratorium Genesis Medicine. Bisa dikatakan obat ajaib yang punya potensi menyembuhkan Alzheimer. Kata pabriknya, sih.
“Jadi, mau makan apa nih?” tanya mamaku tak sabar.
“Yang mana sajalah, yang penting kita makan. Sudah lapar nih,” jawabku yang masih mual karena makan roti dalam goncangan turbulence di atas awan.
Belum saja kita selesai memutuskan, tiba-tiba lampu tanda bahaya dan sirene melolong keras. Suara speaker yang biasanya memanggil penumpang mengeluarkan peringatan. “Para pengunjung bandara harap evakuasi dari pintu keluar terdekat. Kami ulangi, para pengunjung bandara harap evakuasi dari pintu keluar terdekat. Semua pintu akan ditutup.
Dalam sekejap, kepanikan memenuhi bandara. Para pengunjung toko yang tadinya sibuk memilih oleh-oleh berdesakan keluar sampai menjatuhkan barang-barang yang sedang ada di etalase. Pekerja-pekerja juga sibuk menuju ke pintu darurat.
Papa bereaksi cepat dengan menggandeng mama. “Ma! Jangan berhenti di jalan! Ayo cepat! Is, bawa adik dan nenek!”
“Kakak urus saja nenek. Aku bisa sendiri kok!” Seru adikku yang mandiri sambil menggendong tasnya.
“Aneh. Kenapa mereka tidak mengatakan apa yang terjadi?” kataku dalam hati sambil memakai ranselku dan menggamit tangan nenekku. Kalau kebakaran kenapa aku tidak bisa memcium bau asap?
“Ah! Jangan cepat-cepat! Nenek kakinya sakit!”
“Aduh! Jangan gitu, nek! Paksa lari cepat! Nanti saja ngomelnya!” kataku ketus. Beliau memang begitu sejak dulu. Disuruh bagaimana juga tetap angkuh. Heran bagaimana almarhum kakek bisa bertahan. Meskipun begitu aku masih menghormati dan menyayangi beliau.
Begitu sampai di depan pintu, ternyata sebuah sekat anti api telah menyegel pintu keluar. Sekelompok orang tengah berjubel di depannya sambil meneriakkan sumpah serapah. Suara gedoran orang-orang yang marah menggema di ruangan panjang itu.
“Bagaimana ini?” tanya mama. Tangannya sibuk menekan speed dial, tetapi yang terdengar hanya suara putus sinyal. “Tidak ada sinyal sama sekali!”
Aku mengecek handphoneku. Dan benar, gambar antena di handphoneku bertanda silang. Apa karena sekat api yang menghalangi sinyal masuk?
 Papa menggunakan tubuhnya yang berbadan kekar untuk merangsek masuk ke  kelompok orang yang berjubel itu. Saat ia kembali, wajahnya berekpresi berat. “Tidak bisa. Aku sudah menyuruh pegawai untuk menelepon keluar dengan landline, tetapi tetap tidak bisa terhubung. Pintu darurat juga sudah terkunci.”
“Bagaimana kalau kita cari jalan keluar lain?” aku mengusulkan. “Di tangga bawah yang menuju ke imigrasi mungkin masih belum tertutup. Atau kita bisa minta tolong pegawai untuk membukakan pintu keluar darurat.”
“Ide bagus. Aku akan menanyakannya.”
Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa seorang satpam. Beberapa dari orang-orang yang berdiri di depan pintu juga ikut.
“Ini anak saya, Ismail.”
“Apa kabar, nak?”
Si satpam menyodorkan tangan yang segera kuterima. “Baik, pak Agung.”
“Bagaimana nak tahu nama saya?” tanya si satpam terkejut.
Aku menunjuk pada jahitan di dada kirinya. Ia tersenyum lega. “Saya dengar bapak mau mencoba keluar lewat pintu darurat? Sayang sekali. Saya tadi sudah coba, tetapi tidak tahu kenapa pintunya tidak bisa dibuka. Sepertinya ada kesalahan di program komputernya. Kartu kunci saya tidak direspon sama sekali.”
“Kalau begitu, bisa antar kami ke tempat paling dekat dengan pintu luar?”
“Bisa, pak. Ikuti saya.”
Aku dan yang lain mengikuti si satpam turun tangga ke daerah imigrasi. Kaca-kaca yang tembus pandang ke taman yang asri sekarang tertutup. Satu-satunya sumber penerangan sekarang hanyalah lampu sirene yang berputar terus-menerus.
Tapi sesampainya di sana harapan kami pupus. Satu persatu sekat api yang berat dari bahan fiberglass turun dengan cepat.
Lockdown? Yang benar saja!”
“Kembali! Kembali! Jangan sampai kita terkunci di antara sekat-sekat itu!”
“Tunggu!! Nenek jatuh!”
Saat aku melihat ke belakang, ternyata nenek tengah terbaring di tengah lantai di belakang sekat yang sudah hampir seperempat menutup, tubuhnya gemetar dan peluh membatasi wajahnya. Tangannya mencengkeram dada dan napasnya tidak beraturan.
Serangan jantung?Gawat!
“Nenek -!” Tapi belum selesai aku berkata, tirai fiberglass itu sudah menutup dengan suara srek srek yang mengenaskan.
“Sial!” Papa memukul sekat dengan marah. Suara sirene masih bergaung dengan keras memenuhi ruangan imigrasi. Lisa terisak di pelukan mama. Aku sendiri merasa marah. Marah pada diriku yang tidak sadar nenekku jatuh dan marah pada siapa saja yang mengontrol keadaan ini.
Aku melorot pada sebuah tiang dan memijit dahiku. “Aargh. Apa-apaan ini? Ini bukan keadaan darurat biasa. Tidak mungkin semua pintu di sini bisa terkunci dengan begitu cepat.”
Saat aku sedang sibuk memutar otak, aku melihat beberapa orang berkerumun di depan sebuah pintu. Lalu suara tembakan terdengar hampir bersamaan dengan suara jeritan seseorang. Instingku membawaku ke arah mereka dengan cepat.
“Beri jalan, beri jalan. Ada apa ini?”
Di tengah kerumunan orang itu, aku melihat seorang pria setengah baya berbaju batik mengerang kesakitan sambil memegang kakinya. Hidungku mencium bau mesiu dan mataku terumbuk pada pistol 9mm yang berada di tangan si satpam yang kelabakan.
“Apa yang baru saja kamu lakukan?” Tanyaku dengan getir.
“B-bapak mencoba membuka kunci pintu api ini.”
Aku melihat ke arah kunci dead bolt yang berada pada pintu itu. Kecuali goresan kecil di permukaannya, kunci itu masih terlihat kokoh.
 “Bodoh! Membuka kunci dengan pistol itu hanya bekerja di film!”
Aku merobek celana orang itu dan melihat peluru bersarang di dalam dagingnya. Kekuatan lontaran peluru itu berkurang karena pantulan dari pintu sehingga tidak sepenuhnya menembus kaki.
“Argh! Sakit! Sakit sekali!”
“Oke, oke. Kamu diam dulu,” kataku sambil memeriksa lukanya. Darah mengucur dari kakinya, tetapi tidak separah itu. “Pelurunya dicegat oleh tulang. Jadi tidak terlalu dalam. Tapi tetap saja harus dicabut. Ada yang punya pisau?” Seruku sambil melihat mereka. Tidak ada yang bereaksi. Dengan sebal aku menyuruh salah satu dari mereka untuk menahan lukanya dan berlari ke arah pertokoan. Kalau tidak salah ingat...
Aku berlari ke atas, dekat terminal-terminal keberangkatan Soekarno-Hatta dan menemukan sebuah toko dengan display pisau lipat di depannya.
“Bagus!” Teriakku sambil berancang-ancang dan menendang display itu. Dengan suara keras kaca display pecah dan beberapa buah pisau jatuh. Setelah memilih salah satu, aku kembali dan meminjam pemantik seorang pengusaha serta memanaskan ujung pisau lebar untuk mengorek lukanya.
“Gigit ini,” aku mengambil handuk renang salah seorang turis dan menggulungnya sehingga bisa masuk ke mulut orang itu.
“T-tunggu! Apa kita tidak bisa tunggu sampai pertolongan datang!?”
“Kamu mau luka ini infeksi, pak? Kalau tembus tidak masalah. Tapi pelurunya menyangkut di tulang,”  Dengan tenang aku mencongkel peluru itu dan membebat lukanya dengan handuk yang diberikan si turis.
“Kerja bagus, nak. Aku heran kenapa universitas bisa mengeluarkan kamu.”
Aku diam saja mendengar pujian ayahku dan menepis tangannya dari pundakku. Kakiku bergerak menjauh dari mereka.
Tentu saja kamu tidak mengerti, papa. Tidak akan ada yang bisa mengerti. Mengerti kenapa aku berhenti sekolah. Kenapa tanganku yang gemetar malah menjadi stabil seperti mesin saat mengoperasi. Tidak heran orang-orang di sekitarku menganggapku aneh.
Saat aku sedang menenangkan diri, terdengar lagu Dies Irae milik Mozart dari handphoneku. Aneh. Bukannya tadi tidak ada sinyal? Kenapa sekarang bisa ada nada panggilan?
“Unknown,” kataku sambil melihat layar handphone. “Halo?”
“Tuan Prakoso,” suara seorang wanita yang tidak aku kenali berbisik di telingaku. Suaranya terdengar tidak normal, seperti memakai alat pengubah suara sehingga terdengar elektronik. “Anda bisa lihat kamera di depan anda? Di atas kamar mandi?”
“Ya,” kataku cepat setelah memastikan tidak ada yang melihatku. Kamera penjaga itu berputar penuh dan berhenti dengan mengarah padaku.
“Dan anda lihat juga, ada beberapa orang di depan orang tua dan adik anda.”
Mendengar perintah itu, aku langsung membalikkan badan dan melihat kumpulan orang yang bersama keluargaku. Beberapa dari mereka, orang berbaju santai, satpam dan seorang penjaga toko melihat ke arahku. Aku melihat Lisa yang sedang menatapku dan memalingkan muka. “Apa yang kau inginkan?”
“Ikuti perintah saya dan jangan macam-macam. Kalau tidak saya tidak akan bertanggung jawab apabila sesuatu yang tidak diinginkan terjadi pada mereka.”
“Siapa ini? Apa yang kau inginkan dariku!?” Kataku dengan penuh rasa marah. Tanganku mengepal sampai terasa sakit. “Kamukah yang berada di belakang insiden ini? Jawab aku!”
“Anda sekarang ada di depan pintu imigrasi. Sekarang berjalanlah menuju gate 8 kedatangan.”
Tut...tut...tut...
Aku terdiam sejenak. Apa-apaan ini? Dengan kesal aku memukul dinding dengan tanganku. Langsung saja aku menyesal karena menyakiti tanganku sendiri.
“Kakak?”
“Y-ya!?”
Aku hampir melonjak saat mendengar suara adikku. Dadaku berdegup kencang. Kemudian aku melihat orang-orang yang tadi memandang ke arahku mendekat ke arah papa dan mama.
I-imouto-san...kamu kembali ke mama, ya? Aku mau ke kamar mandi sebentar. Sudah kebelet nih,” Tanganku yang memegang bahu adikku yang kecil berkeringat dingin. Untungnya dia tidak sadar.
“O-oke...cepat ya,” jawabnya dengan raut muka bingung.
Aku melepas tanganku dan berjalan pelan-pelan menuju belokan. Begitu sudah sampai di depannya, kakiku melangkah lebih cepat. Satu persatu sekat anti api yang ada di depanku naik. Setibanya aku di gate 8, seorang laki-laki berbaju hitam dengan topi yang membayangi matanya telah menunggu di depan konter.
 “Handphone anda,” katanya sambil mengetukkan jari pada sebuah nampan. Di atasnya sudah nampak tiga buah handphone. Dua Smartphone dan satu handphone murahan. Masih ada yang lain?
“Selamat jalan, tuan,” katanya dengan nada sedikit mencemooh.
Saat aku berjalan keluar pintu ke lapangan terbang, angin besar menerpaku dan debu kasar masuk ke mulutku. Sambil meludahkan benda asing dari lidahku aku melihat sebuah pesawat kecil telah menunggu. Tiga orang berbaju abu-abu seperti pekerja bandara dengan kacamata hitam berdiri di sebelahnya. Tidak perlu perintah dari wanita itu untuk mengerti bahwa aku harus naik ke pesawat itu.
Saat mulai menaiki tangga, mataku sempat bertemu dengan salah satu penjaganya. Namun bukannya senyum jahat seperti yang aku bayangkan, yang aku temukan adalah tatapan penuh rasa iba.
Begitu masuk, aku disambut oleh seorang pramugari berbaju serba biru dengan senyum semanis madu. Senyum yang aku yakin mengandung racun mematikan. Dia mendudukkanku di kursi paling depan dan menyabukkan sabuk pengaman. Ia mengeluarkan sebuah jet injector dan menusukkannya ke leherku sebelum aku sempat bereaksi. Beberapa menit setelah itu pintu pesawat ditutup dan aku merasakan pesawat itu berjalan. Tapi saat itu mataku sudah mulai tertutup dan lidahku mulai kebal.
Papa, mama, Lisa...aku harap kalian selamat...

No comments:

Post a Comment