Aku tidak menyukai pesawat lokal. Goncangan yang tidak mengenakkan dan makanan pesawat yang tidak lebih dari roti dan teh lebih sering membuat aku mual daripada bau pesawat itu sendiri. Sebuah campuran dari bau keringat dan avtur.
Jadi tidak heran bahwa begitu aku turun dari pesawat, aku langsung bernapas lega. Ya, aku, Ismail Prakoso lebih suka pesawat internasional daripada domestik. Dan kenapa aku naik pesawat, tanyamu? Ini karena aku dan keluargaku baru saja dari Amerika. Los Angeles, lebih tepatnya. 2 minggu penuh dengan sengsara dan suka. Bertemu dengan keluarga di luar negeri dan menghabiskan waktu dengan para sepupu yang 75 persen tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bukannya aku komplen atau bagaimana, karena aku sendiri menemukan lebih gampang berbicara dalam bahasa Inggris daripada Indonesia. Sesuatu yang diangap nenekku yang kolot memalukan.
“Kak! Ke sini dong, jagain tasku! Cepet! Aku sudah gak tahan lagi!” Teriak adikku yang masih 14 tahun, beda 7 tahun dariku. Seorang gadis manis yang menjadi bintang sekolah sejak masuk. Bajunya yang lebih mengarah ke warna sedikit buram membuatnya terlihat lebih dewasa dari umurnya. Tetapi tidak halnya dengan kebiasaan ke toilet begitu turun pesawat.
Kedua orangtuaku, sepasang suami istri harmonis yang telah langgeng 36 tahun pernikahan sedang sibuk mengurusi nenekku yang malas jalan. Merekalah yang memaksaku, seorang drop-out dari universitas kedokteran untuk ikut liburan. Aku mengerti bahwa mereka bermaksud baik, tetapi fakta bahwa aku sudah berhenti masuk universitas berkata lain.
Aku harus cari kerja. Seorang pria lulusan SMA yang hanya tahu cara membedah seseorang susah kalau ingin bekerja di bidang lain. Membayangkan diriku harus ikut kenalan papaku bekerja di Gorontalo juga sudah membuatku bergidik.
Masalahnya, apa yang ingin aku lakukan setelah ini juga aku belum tahu. Mungkin ada baiknya jika sesuatu yang mengejutkan, seperti bandara Soekarno-Hatta ini ditabrak meteor atau bumi kiamat.