The World Through The Bottom of My Glass

Tuesday, 6 September 2011

Part 1 Chapter 3

Saat itu aku melihat segerombolan Mulut Besar yang sedang tidur. Tapi beda dengan yang lalu, kepala mereka berbulu merah. Mata reptil mereka membuka ke samping dan kepala mereka menghadap ke arahku.
 Di belakang neraka. Di depan neraka. Apa ini akhirku?
Tidak! Kalau ini memang nasib. Biar aku bawa kalian bersamaku ke neraka!

Tuesday, 30 August 2011

Part 1 Chapter 2


Interlude
Pernahkah kamu melihat badan seorang manusia yang separuh otaknya hilang sekaligus dengan tempurung kepalanya, kulit dan daging pada dada terobek seperti kantong makanan ringan menunjukkan isi rongga abdominal dalam keadaan kritis karena pendarahan hebat?
Aku pernah. Tapi hanya di TV. Pada nyatanya kejadian-kejadian fantastis itu hanya bisa terjadi di siaran drama rumah sakit. Kalaupun benar-benar terjadi perbedaannya mungkin bisa 10.000 : 1. Tidak besar? Ya, memang. Tapi itu kalau kau tidak menghitung bahwa kebanyakan kasus seperti itu dilarikan ke rumah sakit besar.
Tapi jika saat itu datang...jika dari kemungkinan sebesar itu pasien itu berada di depanmu, apa yang akan kamu lakukan?
Menandatangani surat kematiannya karena yakin dia tidak bisa ditolong?
Berusaha menolongnya bahkan jika hal itu mustahil?
Pilihan pertama akan memperoleh antagonisme dari keluarga korban. Pilihan kedua akan menjadi bahan cemoohan kolega karena membuang-buang obat. Maju mundur sama salahnya. Itulah sebabnya aku benci rumah sakit. Tidak, mungkin lebih bisa dikatakan begitulah keadaan dunia ini sebenarnya. Tidak semua hal bisa diukur dengan moral.
End Interlude

“Haaa!”
Aku terbangun dari tidurku dan merasakan pegal-pegal di punggung. Aku menempelkan punggung tanganku ke leher dan merasakan bahwa temperatur tubuhku sudah kembali normal.
“Ada apa ribut-ribut?”
Seorang pria tinggi berwajah tampan dan berpotongan rapi berjalan ke arahku sambil menyodorkan semangkuk air. Dari bajunya kelihatan bahwa ia bekerja di bisnis pelayanan. Aku yang dalam sehari sudah diculik, melihat orang tak bersalah digorok, dan dilempar dari pesawat berketinggian 30.000 kaki menatapnya dengan curiga.

Part 1 Chapter 1: The Island of No Return


“U...uu...”
Rasa kebas yang tidak mengenakkan memenuhi tubuhku. Otakku berusaha menyuruh jariku-jariku untuk menutup, tapi yang bisa aku lakukan hanya gerakan kecil.
 “Uuh...S..ss.”
Saat itu aku membuka mata dan terlihat olehku sekumpulan kaki-kaki dengan segala jenis sepatu di depan. Dari bahasa yang mereka pakai saat berbicara, jelas bahwa mereka berasal dari negara-negara yang berbeda. Setelah beberapa saat mataku mampu melihat lebih jelas dan dapat melihat bahwa saat itu aku berada di sebuah ruangan gelap yang berdinding besi. Suara angin di luar menandakan bahwa aku sedang berada di pesawat besar, semacam pesawat kargo.
“Halo, nak. Kamu orang Indonesia juga?”
Seorang bapak-bapak berpakaian mentereng membantuku berdiri. Wajahnya terlihat capek dan takut.
“Namaku Jonny Saputra. Kamu?”
“I...Iis...” aku berhenti, menjejakkan kakiku beberapa kali untuk mendapatkan kembali kontrol tubuhku. “Ismail Prakoso. Kita ada di mana?”
“Yang aku tahu kita berada di pesawat. Kamu adalah orang terakhir yang bangun. Berhari-hatilah. Orang-orang berbaju militer itu membawa senjata.”
Belum selesai dia bicara, salah seorang dari penjaga memakai topeng kain menghampiri aku dan mengangkat sebuah alat seperti barcode scanner yang ada di toko supermarket dan mengarahkannnya ke leherku. “Ismail Prakoso. No. 636. Semua kandidat sudah bangun. Kita mulai pertunjukannya!”

Island of the Fallen: Prologue


Aku tidak menyukai pesawat lokal. Goncangan yang tidak mengenakkan dan makanan pesawat yang tidak lebih dari roti dan teh lebih sering membuat aku mual daripada bau pesawat itu sendiri. Sebuah campuran dari bau keringat dan avtur.
Jadi tidak heran bahwa begitu aku turun dari pesawat, aku langsung bernapas lega. Ya, aku, Ismail Prakoso lebih suka pesawat internasional daripada domestik. Dan kenapa aku naik pesawat, tanyamu? Ini karena aku dan keluargaku baru saja dari Amerika. Los Angeles, lebih tepatnya. 2 minggu penuh dengan sengsara dan suka. Bertemu dengan keluarga di luar negeri dan menghabiskan waktu dengan para sepupu yang 75 persen tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Bukannya aku komplen atau bagaimana, karena aku sendiri menemukan lebih gampang berbicara dalam bahasa Inggris daripada Indonesia. Sesuatu yang diangap nenekku yang kolot memalukan.
“Kak! Ke sini dong, jagain tasku! Cepet! Aku sudah gak tahan lagi!” Teriak  adikku yang masih 14 tahun, beda 7 tahun dariku. Seorang gadis manis yang menjadi bintang sekolah sejak masuk. Bajunya yang lebih mengarah ke warna sedikit buram membuatnya terlihat lebih dewasa dari umurnya. Tetapi tidak halnya dengan kebiasaan ke toilet begitu turun pesawat.
Kedua orangtuaku, sepasang suami istri harmonis yang telah langgeng 36 tahun pernikahan sedang sibuk mengurusi nenekku yang malas jalan. Merekalah yang memaksaku, seorang drop-out dari universitas kedokteran untuk ikut liburan. Aku mengerti bahwa mereka bermaksud baik, tetapi fakta bahwa aku sudah berhenti masuk universitas berkata lain.
Aku harus cari kerja. Seorang pria lulusan SMA yang hanya tahu cara membedah seseorang susah kalau ingin bekerja di bidang lain. Membayangkan diriku harus ikut kenalan papaku bekerja di Gorontalo juga sudah membuatku bergidik.
Masalahnya, apa yang ingin aku lakukan setelah ini juga aku belum tahu. Mungkin ada baiknya jika sesuatu yang mengejutkan, seperti bandara Soekarno-Hatta ini ditabrak meteor atau bumi kiamat.

Sunday, 14 August 2011

C80 Hast COMETH!!!


Ah, yes. My first real post.
If you are aware, even though my handle name is a bartender, I don't actually work as one.
And no, I don't drink much. But when I drink, I drink things with really strange names.


Anyway, 13th of August is the day when my internet works non stop. Why?
 Because of  Comiket 80! Yessir, I am a bonafide Fanboy of stuffs that comes from Japan!

Continue Reading?

As you are aware that this is my first time blogging, can anyone tell me how to
do the "read more" thing? I really don't know how to do that.

Ahh, blogging. SO hard...

Chapter 1


Three months before Judgment Day...

The clock rang loudly and rouse me wake.
Ten O’clock.
“Hey, everyone! This is Radio JB and to those of you who are still on their bed, wake up and smell the roses!”
“Yea, yea...shut up...”
I waved my hand vaguely where I put the clock and pushed the off button, shutting up the perky radio personality. Too much perky in the morning.
After a big yawn and a stretch to my sore muscles, I opened the window to breathe some fresh air, which seeing as I am in New York, smelled like fish.